Pendidikan multikultural sangat
penting di Sekolah Dasar (SD) khususnya dalam pengajaran ilmu pengetahuan
sosial. Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup untuk menghormati
secara tulus, dan toleran dalam keberagaman budaya yang hidup di tengah-tengah
masyarakat majemuk. Dengan diberikannya pendidikan multikultural diharapkan
adanya kelenturan mental bangsa dalam menghadapi konflik-konflik yang berbau suku
antar golongan ras dan agama (SARA), sehingga persatuan bangsa tidak mudah
retak dan terjadi disintegrasi bangsa.
Adapun tujuan pendididikan
multikultural adalah: Membantu anak didik dalam mengembangkan pemahaman dan
sikap secara memandai terhadap mamasyarakat yang beraneka ragam budaya. Anak
didik memiliki budaya sendiri yang hakiki, namun tetap memberi andil terhadap
kesejahteraan masyarakat. Mengembangkan pendidikan yang wajar, tanpa memandang
perbedaan, membantu peserta pendidik untuk berpartisipasi dalam kultur berbeda.
Membantu anak didik dalam memberdayakan potensi yang optimal” (Setyo Raharjo,
2002: 27).
Oleh karena itu pendidikan multikultural
harus memperhatikan beberapa hal antara lain: Pengajaran nilai yang mendukung keberagaman
budaya dan keunikan individu. Peningkatan perluasan kualitatif keberadaan
budaya etnis dan kerja sama dalam kehidupan sosio ekonomis dan politik, mendukung
alternatif pemunculan gaya hidup dan peningkatan pemahaman multikultural, multi
bahasa dan multi dialektika.
Dalam konteks kehidupan berbangsa
yang serat dengan kemajemukan berbagai bidang; suku, ras, golongan, agama,
bahasa daerah dan kepentingan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat
strategis untuk dapat mengelola secara kreatif, sehingga konflik dapat dikelola
dengan cerdas. Dengan demikian pendidikan multikultural dapat dijadikan
pencerahan dalam kehidupan berbangsa ke masa depan yang lebih baik.
Perkembangan sejarah Indonesia,
serat diwarani dengan konflik-konfllik sosial dan disertai dengan tindak kekerasan
sehingga mengancam kesatuan - persatuan bangsa dan negara. Pengalaman masa lalu
sering timbul peperangan antar kerajaan dan setelah kemerdekaan serta
berdirinya negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga sering timbul konflik
yang membawa fanatisme kedaerahan. Konflik sosial sering bertendensi politik
dan ujung-ujungnya ingin melepaskan diri dari NKRI seperti yang terjadi saat
ini di Papua. Oleh karena itu dengan diberikannya pendidikan multikultural di
tingkat SD diharapkan konflik sosial yang distruktif dapat diredam atau diatasi
sehingga disintegrasi bangsa diharapkan tidak terjadi.
Pendidikan Pancasila dan pendidikan
Kewarganegaraan yang mempunyai tujuan untuk membentuk warga negara yang baik (Good
Cetezen) dengan kriteria beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa belum memberi jaminan untuk terwujudkanya masyarakat yang demokratis, dengan
cara hidup yang multikultural (Kaelan, 2003: 15). Pemberian mata kuliah
Pemebentuk Kepribadian (MPK) dalam kenyataannya belum mampu mewujudkan demensi
multikultural, hal ini karena mata kuliah tersebut di atas rentan intervensi
penguasa pada zamannya sehingga mahasiswa skeptis terhadap matakuliah tersebut.
Akibatnya mahasiswa kurang berminat mempelajari mata kulaih pembentuk
kepribadian, bahkan telah kehilangan aktualitasnya.
Pendidikan Kepramukaan yang
diharapkan mampu membawa misi kesederhanaan, kesamaan, kegotongroyongan,
tolong-menolong, kebersamaan dan kesatuan, sudah tidak populer lagi bagi generasi
muda karena sudah terpinggirkan. Oleh karena tidak lagi diaktualisasikan dalam
falsafah hidup ditengah-tengah realitas perubahan sosial yang kompleks
sekaligus dalam tekanan budaya global yang cenderung materialistik dan
hedonistik.
Peranan Pendidikan agama diharapkan
memberikan dasar untuk kesatuan masyarakat dalam pandangan hidup dan sistem
nilai yang seragam, memberikan motivasi yang sama untuk kegiatan bersama dan
memberikan norma dalam hidup bersama (Haryono, 2004: 5). Namun kenyataannya
Pendidikan agama yang ada tidak memberikan nuansa mutltikultural tetapi malah
sebaliknya masih menyudutkan hak hidup agama yang lain seakan-akan hanya
agamanya sendiri yang berhak hidup dan benar. Semangat pendidikan agama yang
sempit tentu berlawanan dengan pendidikan multikultural, dan hal ini akan
memperlemah kesatuan dan persatuan bangsa (Wilys Setyowati, 2005: 7)
Dengan melihat kelemahan dan pengalaman pendidikan multikultural masa lalu makan pendidikan tersebut harus direvisi, direvitalisasi, direaktualisasi secara kratif sehingga tidak kehilangan jiwa dan semangatnya. Keluaran yang diharapkan dalam pendidikan multikultural ini adalah setiap peserta didik memiliki sikap dapat menerima, menghargai dan memandang agama lain sebagai agama yang baik dan benar serta memiliki jalan keselamatan. Dalam prespekti multikultural, setiap agama diharapkan terpanggil untuk membina hubungan solidaritas, dialog dan kerja sama dalam rangka mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih berpengaharapan (Daniel Nuhamera, 2004: 11).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar