Get Paid To Promote, Get Paid To Popup, Get Paid Display Banner

Rabu, 11 April 2012

Sistem Tanam Paksa

Selama periode antara tahun 1816-1830, Pemerintah Hindia Belanda mengalami kesulitan keuangan. Di bawah Gubernur Jenderal Van de Bosch, Pemerintah Hindia Belanda berusaha menutupi kesulitan keuangan itu dengan memberlakukan Cultuur Stelsel (Tanam Paksa).

Adapun peraturan Tanam Paksa tersebut adalah sebagai berikut:
a. setiap desa diharuskan menanam 1/5 dari tanahnya dengan tanaman seperti kopi, gula, tembakau, dan nila.
b. hasil tanaman itu harus dijual pada pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditentukan.
c. tanah garapan untuk tanaman ekspor dibebaskan dari pajak bumi.
d. kegagalan panen akan menjadi tanggung jawab pemerintah.
e. mereka yang tidak memiliki tanah, wajib bekerja selama 66 hari/tahun di perkebunan milik pemerintah.

Dengan ketentuan tersebut, sistem tanam paksa banyak mendatangkan keuntungan bagi Belanda. Hal itu terlihat dari saldo keuntungan antara tahun 1832–1867 diperkirakan mencapai angka 967 juta Gulden. Sehingga kas negara segera terisi kembali, bahkan utang luar negeri Belanda dapat dilunasi dan sisanya dapat digunakan untuk modal usaha-usaha industri di Belanda.

Akibat tanam paksa, timbullah reaksi rakyat Indonesia menentang pelaksanaan Sistem Tanam Paksa. Pada tahun 1833, terjadilah huru-hara di perkebunan tebu di daerah pasuruan. Pada tahun 1848 terjadi pembakaran kebun tembakau seluas tujuh hektar di Jawa Tengah.

Reaksi lain terhadap pelaksanaan Sistem Tanam Paksa juga muncul di negeri Belanda. Reaksi itu datang dari golongan humanis, yaitu orang- orang yang menjunjung tinggi asas-asas etika dan perikemanusiaan, seperti Douwes Dekker (Multatuli) dalam bukunya Max Havelaar, secara terang- terangan mengecam penyimpangan tanam paksa dan penindasan terhadap rakyat yang dilakukan oleh pegawai Belanda dan penguasa setempat. Baron van Houvel sebagai pendeta melaporkan penderitaan rakyat Indonesia dalam sidang perkebunan di Negeri Belanda. Sejak saat itu banyak orang Belanda yang menentang tanam paksa, terutama anggota parlemen dari golongan liberal. Atas desakan parlemen, pemerintah Belanda menghapuskan sistem tanam paksa, dan sebagai gantinya dikeluarkanlah Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula pada tahun 1870.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar