Get Paid To Promote, Get Paid To Popup, Get Paid Display Banner

Rabu, 25 April 2012

Undang-Undang Agraria Tahun 1870


Mulai tahun 1870 Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan politik liberal yang dikenal dengan sebutan politik pintu terbuka. Dengan politik pintu terbuka ini pihak swasta asing terutama pengusaha Eropa, mendapat kesempatan membuka usaha di Indonesia. Bidang usaha yang dikelola oleh pihak swasta antara lain; perkebunan kopi, tembakau, teh, kina, dan gula.

Untuk membuka perkebunan-perkebunan itu diperlukan lahan yang luas maka perlulah disusun undang-undang yang mengatur sewa-menyewa tanah, Kemudian Pemerintah Belanda mengeluaran Undang- Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Ketentuan UU Agraria 1870, antara lain menyebutkan:
a. pengusaha dapat menyewa tanah dari pemerintah untuk masa 75 tahun;
b. penduduk pribumi dijamin hak-hak miliknya atas tanah menurut hukum adat;
c. gubernur jenderal tidak diperbolehkan menjual sawah.

Dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870, muncullah perkebunan-perkebunan swasta asing di Indonesia, seperti perkebunan kina dan teh di Jawa Barat, perkebunan tebu di Jawa Timur, dan perkebunan tembakau dan karet di Sumatera Timur. Pemilik perkebunan-perkebunan swasta itu tidak hanya milik orang-orang Belanda, tetapi ada milik bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Inggris, Prancis dan Belgia. Pada pelaksanaannya, undang-undang tersebut tidak mengubah taraf hidup rakyat Indonesia tetapi menimbulkan berbagai akibat seperti industri kerajinan rakyat kalah bersaing dengan hasil produksi swasta.

Tenaga rakyat (buruh) diperas secara paksa oleh para pengusaha swasta, mereka diikat dengan kontrak sehingga tidak dapat melepaskan pekerjaanya. Jika mereka melarikan diri akan mendapat hukuman. Selain membawa dampak negatif, UU Agraria ini membawa dampak positif, terutama masyarakat Indonesia mulai mengenal arti uang. Ada di antara buruh perkebunan yang mendapatkan upah (uang) sebagai bayarannya.

Melihat realisasi UU Agraria 1870 yang tidak mampu memperbaiki nasib rakyat dari keadaan sebelumnya, beberapa tokoh Belanda seperti Baron van Hoevel, Eduard Douwes Dekker, dan van Deventer. mengusulkan kepada pemerintah Kerajaan Belanda agar memperhatikan nasib rakyat Indonesia. Dalam pandangan mereka, bangsa Belanda tidak ada keinginan untuk memperbaiki rakyat Indonesia, padahal bangsa ini banyak jasanya bagi pembangunan negeri Belanda. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Pemerintah Hindia Belanda untuk memperhatikan nasib dan kesejahteran bangsa Indonesia. Akhirnya, melalui usulan dan kritikan tersebut muncullah Etische Politik atau Politik Etis yang diprakarsai oleh van Deventer.

Artikel Terkait:

1 komentar: