Kini arus
globalisasi telah banyak dirasakan terutama di kota-kota seantero Indonesia.
Apa yang dilakukan oleh orang-orang di luar negeri cepat sekali masuk atau dilihat oleh
masyarakat kita dengan mudah. Anehnya lagi, semua itu berkiblat pada Amerika
dan Inggris. Seakan-akan apa yang dilakukan
oleh orang Amerika dan Inggris tersebut baik dan pantas diikuti. Kalau tidak,
dianggap kuno atau ketinggalan zaman. Karena itulah banyak di kalangan anak
muda kita lupa akan jati diri (identitas)nya sebagai bangsa Indonesia. Lihat
saja sekarang, di kota-kota kecil saja kita akan melihat remaja-remaja kita
mengenakan dandanan ala selebritis. Mereka mengenakan rok atau celana yang
tidak sesuai dengan budaya kita dengan membiarkan bagian perut atau pinggang
terbuka dipadu dengan atasan super ketat. Rambut asli disembunyikan diganti
dengan berbagai rambut palsu atau dicat beraneka warna dan lain-lain. Sementara
itu remaja pria juga tidak mau ketinggalan. Mereka mengenakan pakaian yang
aneh-aneh. Ada yang bercelana super ketat, namun ada pula yang super longgar,
rambut dicat, dibentuk beraneka model, disertai asesoris yang beraneka rupa
pula. Pendek kata, kini orang lebih suka menjadi orang lain dengan cara
menutupi identitas dirinya yang asli.
Konstruksi
identitas dalam setiap tahapan sejarah selalu mengikuti posisi-posisi kuasa.
Kuasa negara-negara totaliter telah membentuk identitas-identitas yang statis
dan membentuk manusia dalam logika “ aku sama, maka aku ada”. Jika orientasi
kuasa negara adalah menjaga proses industrialisasi, maka industrialisasi
menyerang berbagai ruang dan nilai kehidupan. Dari gaya hidup yang kecil-kecil,
misalnya gaya berpakaian hingga narasi-narasi besar, seperti politik atau
demokratisasi.
Konstruksi
kebudayaan masa kini makin ditentukan oleh kapasitas distribusi yang dilakukan
media ketimbang otoritas regulasi yang diperankan negara. Otoritas seperti yang
dikemukakan oleh Giddens, kini harus bersaing dengan ketidakpastian. Identitas
yang dibangun melalui citra-citra media massa yang tidak pasti inilah, yang
kemudian memunculkan cunterfiet people, yaitu orang-orang yang
identitasnya diskenariokan dan dipentaskan untuk menciptakan sejumlah ilusi
yang seringkali tidak memiliki hubungan sama sekali dengan realita asli ( lihat
gaya penampilan orang-orang di televisi). Identitas rekaan media menjadi
pilihan yang mengasyikkan dan menjadi trendi, meskipun semua itu bersifat foke
atau palsu.
Di samping itu,
dengan adanya globalisasi dapat pula melahirkan pranata-pranata
(lembaga-lembaga) sosial baru, seperti di bidang ekonomi, timbul mall
(supermarket), pasar uang (modal), dan lain-lain. Di bidang sosial
timbul lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi
profesi, pesta
berdiri, dan lain-lain. Di bidang seni budaya, tumbuh pesat
cabang-cabang seni
modern yang dapat menggeser cabang-cabang seni tradisional seperti band,
film,
dan lain-lain. Tempat hiburan, seperti sanggar seni modern, diskotik,
kafe,
galeri. Di samping itu berkembang pula model fashion show, kontes ratu
kecantikan dan lain-lain. Di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, lahir penemuan-penemuan baru yang kemudian
dilempar
di pasaran yang akibatnya menggeser produk-produk lama atau berpengaruh
luas
dalam kehidupan sehari-hari, seperti alat-alat rumah tangga dari bambu
diganti
dari plastik, dari tanah liat diganti dengan aluminium atau stainless.
Alat
transportasi atau komunikasi seperti gerobag, andong atau dokar diganti
bus,
pesawat terbang, kentongan diganti handphone,
dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar