Tiga tahun setelah
berdirinya BU, yakni tahun 1911 berdirilah Sarekat Dagang Islam ( SDI ) di Solo
oleh H.
Samanhudi, seorang pedagang batik dari Laweyan Solo. Organisasi SDI berdasar pada dua hal berikut ini.
a. Agama Islam.
b. Ekonomi, yakni untuk
memperkuat diri dari pedagang Cina yang berperan sebagai leveransir (seperti
kain putih, malam, dan sebagainya).
Atas prakarsa H.O.S.
Cokroaminoto, nama SDI kemudian diubah menjadi Sarekat Islam (SI), dengan
tujuan untuk memperluas anggota sehingga
tidak hanya terbatas pada pedagang saja. Berdasarkan Akte Notaris pada
tanggal 10 September 1912, ditetapkan tujuan SI sebagai berikut:
1) memajukan perdagangan;
2) membantu para anggotanya yang
mengalami kesulitan dalam bidang usaha (permodalan);
3) memajukan kepentingan rohani
dan jasmani penduduk asli;
4) memajukan kehidupan agama
Islam.
Melihat tujuannya tidak tampak
adanya kegiatan politik. Akan tetapi, SI dengan gigih selalu memperjuangkan
keadilan dan kebenaran terhadap penindasan dan pemerasan oleh pemerintah
kolonial. Dengan demikian, di samping tujuan ekonomi juga ditekankan adanya
saling membantu di antara anggota. Itulah sebabnya dalam waktu singkat, SI
berkembang menjadi anggota massa yang pertama di Indonesia. SI merupakan
gerakan nasionalis, demokratis dan ekonomis, serta berasaskan Islam dengan
haluan kooperatif.
Mengingat perkembangan SI yang
begitu pesat maka timbullah kekhawatiran dari pihak Gubernur Jenderal Indenberg
sehingga permohonan SI sebagai organisasi nasional yang berbadan hukum ditolak
dan hanya diperbolehkan berdiri secara lokal. Pada tahun 1914 telah berdiri 56
SI lokal yang diakui sebagai badan hukum. Pada tahun 1915 berdirilah Central
Sarekat Islam (CSI) yang berkedudukan di Surabaya. Tugasnya ialah membantu
menuju kemajuan dan kerja sama antar- SI lokal.
Pada tanggal 17–24 Juni 1916
diadakan Kongres SI Nasional Pertama di Bandung yang dihadiri oleh 80 SI lokal
dengan anggota 360.000 orang anggota. Dalam kongres tersebut telah disepakati
istilah "nasional", dimaksudkan bahwa SI menghendaki persatuan dari
seluruh lapisan masyarakat Indonesia menjadi satu bangsa.
Sifat SI yang demokratis dan
berani serta berjuang terhadap kapitalisme untuk kepentingan rakyat kecil
sangat menarik perhatian kaum sosialis kiri yang tergabung dalam Indische
Social Democratische Vereeniging (ISDV) pimpinan Sneevliet (Belanda), Semaun,
Darsono, Tan Malaka, dan Alimin (Indonesia). Itulah sebabnya dalam
perkembangannya SI pecah menjadi dua kelompok berikut ini.
1) Kelompok nasionalis religius (
nasionalis keagamaan) yang dikenal dengan SI Putih dengan asas perjuangan Islam
di bawah pimpinan H.O.S. Cokroaminoto.
2) Kelompok ekonomi dogmatis yang
dikenal dengan nama SI Merah dengan
haluan sosialis kiri di bawah pimpinan Semaun
dan Darsono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar