Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak
bisa terlepaskan dari bangunan teoretik yang telah dikemukakan oleh Peter L.
Berger dan Thomas Luckmann. Peter L.
Berger merupakan sosiolog dari New School for Social Reserach, New York,
Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog
dari University of Frankfurt.
Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini
sebagai suatu kajian teoretis dan sistematis mengenai sosiologi
pengetahuan. Istilah konstruksi atas
realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak
diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang
berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of
Knowledge (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan
interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas
yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.
Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang dimulai
dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian
konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang
secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabila
ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah dimulai
oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari italia, ia adalah cikal bakal
konstruktivisme (Suparno dalam Bungin, 2008:13)
Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak
sokrates menemukan jiwa dalam tubuh
manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut semakin
lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi,
individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa,
manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya,
bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta
(Bertens dalam Bungin, 2008:13). Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan
ucapannya ‘Cogoto, ergo sum’ atau ‘saya
berfikir karena itu saya ada’ (Tom Sorell dalam Bungin, 2008:13). Kata-kata
Aristoteles yang terkenal itu menjadi
dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat
ini.
Berger dan Luckman (Bungin, 2008:14) mulai menjelaskan realitas sosial
dengan memisahkan pemahaman ‘kenyataan dan pengetahuan’. Realitas diartikan
sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai
memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri.
Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata
(real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
Berger dan Luckman (Bungin, 2008:15) mengatakan terjadi dialektika
antara indivdu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu.
Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi.
Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan; Berger menyebutnya
sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa.
Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri
manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah
menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat
dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang
lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses
inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya
sendiri dalam suatu dunia.
Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun
fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan
realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri
sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang
menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu
realitas suigeneris. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia
menciptakan alat demi kemudahan hidupnya atau kebudayaan non-materiil dalam
bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan ekternalisasi
manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan
manusia. Setelah dihasilkan, baik benda
atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang
objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk
kebudayaan. Kebudayaan yang telah
berstatus sebagai realitas objektif, ada diluar kesadaran manusia, ada “di
sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan
subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh
setiap orang.
Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan
kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif
individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari
dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas
diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui
internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu
tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan.
Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini,
realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang
berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman,
preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu
akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar