Masyarakat
Madani (Civil Society)
1. Pengertian dan Ciri-Cirinya
Istilah civil society yang kini sering diterjemahkan dengan istilah
masyarakat madani tampaknya semakin mendapat tempat di dalam wacana politik di
Indonesia. Sebagai sebuah konsep, masyarakat madani berasal dari proses sejarah
Barat. Akar perkembangannya dapat dirunut mulai Cicero dan bahkan sejak zaman
Aristoteles. Yang jelas, Cicero yang mulai menggunakan istilah societes
civilis dalam filsafatnya. Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18,
pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara, yakni
suatu kelompok yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain.
Diskusi-diskusi
mutakhir tentang civil society pada umumnya berporos pada pemahaman de
Tocqueville. Civil society dapat didefinisikan sebagai
wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan di antaranya bercirikan
(i) kesukarelaan (voluntary), (ii) keswasembadaan (self generating),
(iii) keswadayaan (self supporting), (iv) kemandirian tinggi berhadapan
dengan negara, dan (v) keterkaiatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum
yang diikuti warganya. Dari pengertian tersebut civil society berwujud
dalam berbagai organisasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara.
Lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial keagamaan, paguyuban, dan juga
kelompok-kelompok kepentingan merupakan wujud dari kelembagaan civil society.
2.
Perkembangan Masyarakat Madani (Civil Society)di Indonesia
Secara historis civil
society di Indonesia telah muncul ketika proses transformasi akibat
modernisasi terjadi yang menghasilkan pembentukan masyarakat baru yang berbeda
dengan masyarakat tradisional. Dengan demikian, akar civil society di
Indonesia bisa dirunut secara historis semenjak terjadinya perubahan sosial
ekonomi pada masa kolonial Belanda. Hal tersebut mendorong terjadinya
pembentukan masyarakat baru lewat proses industrialisasi, urbanisasi, dan
pendidikan modern. Hasilnya antara lain adalah munculnya kesadaran baru di
kalangan kaum elit pribumi yang kemudian mendorong terbentuknya
organisasi-organisasi sosial modern di awal abad 20.
Dalam
perjalanannya, pertumbuhan civil society di Indonesia pernah mengalami
suatu masa yang cukup menjanjikan bagi pertumbuhannya. Hal ini terjadi sejak
kemerdekaan sampai dengan 1950-an, yaitu pada saat organisasi-organisasi sosial
dan politik dibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dari warga
masyarakat yang baru saja merdeka. Oleh karena itu, terciptalah kekuatan
masyarakat yang mampu menjadi penyeimbang dan pengawas terhadap kekuatan negara.
Sayang sekali iklim demikian itu tidak berlangsung lama karena ormas-ormas dan
lembaga-lembaga sosial berubah menjadi alat bagi merebaknya aliran politik dan
pertarungan berbagai ideologi. Pada awal 1960-an, akhirnya mengalami kemunduran
yang nyata. Demokrasi terpimpin maupun orde baru membuat posisi negara semakin
kuat sedangkan posisi rakyat lemah. Pada masa itu terjadi paradok, yaitu semakin
berkembangnya kelas menengah pada masa orde baru ternyata tidak mampu
mengontrol hegemoni negara karena ternyata kelas menengah di Indonesia
memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap negara dan penguasa. Kelas
menengah di negeri ini juga masih punya problem kultural dan primordial, yaitu
ada kelas menengah pribumi dan nonpribumi, muslim dan nonmuslim, Jawa dan non-Jawa.
Hal ini berpengaruh terhadap munculnya solidaritas di kalangan para anggotanya.
Akibatnya, negara mudah melakukan tekanan dan pencegahan bagi timbulnya
solidaritas kelas menengah untuk memperluas kemandirinnya.
3.
Asal Usul Istilah Masyarakat Madani (Civil Society)
Pada dasawarsa terakhir abad
ke-20, telah lahir kembali dalam wacana dan gerakan politik global sebuah
istilah yang telah lama dilupakan, yaitu istilah civil society (masyarakat madani).
Istilah tersebut secara konseptual dikembangkan dari pengalaman era pencerahan Eropa Barat abad ke-1, yaitu
pada masa munculnya kembali di Eropa Timur pada dasawarsa 1980-an sebagai
jawaban terhadap negara dengan sistem partai sosialis (tunggal) yang otoriter
yang kemudian dapat dijatuhkan. Dari Eropa Timur, gemanya kemudian menjalar dan
menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Di Eropa Barat, gema tersebut
mengambil bentuk tumbuhnya kritik sayap kanan terhadap negara kesejahteraan, sementara di Amerika Latin diartikulasikan
dengan keinginan untuk bebas dari pemerintahan militer. Di sisi lain, di
Afrika, Asia Timur, dan Timur Tengah, civil
society digunakan untuk mengekpresikan keanekaragaman perjuangan untuk
demokratisasi dan perubahan politik (Amin Abdullah, 2003:1).
Gema civil society (masyarakat madani) pada
perkembangan berikutnya ternyata masuk ke dalam wacana lembaga-lembaga
multilateral. Sebagai contoh, The Inter-American Development Bank
(Bank Pembangunan Antar-Amerika) merintis sebuah proyek penguatan civil
society di Amerika Latin pada
dasawarsa 1990-an. Di samping itu, IDB (Bank Pembangunan Internasional),
Bank
Dunia, UNDP (Program Pembangunan PBB), Yayasan Soros, dan Pemerintahan
Denmark,
semuanya mulai membiayai program-program pengembangan civil society di
Eropa Timur, Afrika, dan Amerika Latin. Dari fakta
ini, istilah civil society telah
berkembang dari sekedar konsep
menjadi sebuah gerakan (Amin
Abdullah, 2003:3).
4. Runtuhnya Orde Baru dan Bangkitnya Masyarakat
Madani (Civil Society) di Indonesia
Wacana civil society telah menjadi salah satu
cara untuk melepaskan kekecewaan atau ketidakpuasan sebagian warga masyarakat
terhadap praktik-praktik politik Orde Baru yang sangat hegemonik dalam pengelolaan sosial, ekonomi, politik, dan
kebudayaan. Dalam penataan politik, misalnya, rezim Orde Baru melakukan hal-hal
berikut ini.
(1) Reformasi pada
tingkat elite dengan membentuk korporasi negara di mana militer, teknokrat, dan
birokrat menjadi sendi-sendi utamanya.
(2) Depolitisasi arus
bawah melalui kebijakan massa mengambang dan di kalangan mahasiswa melalui
kebijakan normalisasi kehidupan kampus.
(3) Institusionalisasi
politik dalam masyarakat dengan berbagai cara: (i) penyederhanaan sistem
kepartaian dan penyatuan ideologi politik formal melalui asas tunggal
Pancasila, (ii) dalam penataan kebudayaan, terutama yang terkait dengan
ideologi bangsa, selain pengasastunggalan ideologi organisasi politik (dan
organisasi masyarakat), juga dilakukan program penataran P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral
Pancasila) dengan memonopoli interpretasi Pancasila oleh negara, dan (iii) penerapan
pendekatan keamanan kepada para pembangkang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar