Sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia,
maka masyarakat Indonesia sebelum adanya pengaruh Hindu-Buddha juga telah
mempercayai adanya kekuatan di luar diri mereka. Hal ini juga tidak terlepas
dari kehidupan mereka.
Mereka hidup dari berladang dan bersawah. Dalam
mengolah/mengerjakan ladang atau terutama sawah harus ada kerjasama diantara
mereka, seperti gotong royong membuat parit, membuat pintu air, bahkan
mendirikan rumah. Kehidupan ini hanya dapat berjalan dalam masyarakat yang
sudah teratur, yang telah mengetahui hak dan kewajibannya. Ini berarti telah
ada organisasi dan yang menjadi pusat organisasi ialah desa dan ada aturan-aturan
yang harus dipatuhi bersama. Kepentingan desa berarti kepentingan bersama.
Dalam suasana untuk saling memahami, saling menghargai, tolong menolong dan
bertanggung jawab, maka muncullah faktor baru, yakni pemimpin (ketua
desa/datuk). Yang memegang pimpinan adalah ketua adat, yang dianggap memiliki
kelebihan dari yang lain. Ia harus melindungi anggotanya dari serangan kelompok
lain, atau ancaman binatang buas sehingga tercipta kemakmuran, kesejahteraan
dan ketentraman. Pemimpin bekerja untuk kepentingan seluruh desa, maka
masyarakat berhutang budi kepada pemimpinnya.
Sifat kerja sama antara rakyat dan pemimpinnya
membentuk persatuan yang kuat, memunculkan kepercayaan, yakni memuja roh nenek
moyang, memuja roh jahat dan roh baik bahkan mereka percaya bahwa tiap-tiap
benda memiliki roh. Dengan demikian muncullah Animisme, Dinamisme, dan
Totemisme.
a. Animisme
Setiap benda baik hidup maupun mati mempunyai
roh atau jiwa. Roh itu mempunyai kekuatan gaib yang disebut mana.
Roh atau jiwa itu pada manusia disebut nyawa. Nyawa itu dapat berpindah-pindah
dan mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena itu, nyawa dapat hidup di luar badan
manusia. Nyawa dapat meninggalkan badan manusia pada waktu tidur dan dapat
berjalan kemana-mana (itulah merupakan mimpi). Akan tetapi apabila manusia itu
mati, maka roh tersebut meninggalkan badan untuk selama- lamanya.
Roh yang meninggalkan badan manusia untuk
selama-lamanya itu disebut arwah. Menurut kepercayaan, arwah tersebut hidup
terus di negeri arwah serupa dengan hidup manusia. Mereka dianggap pula dapat
berdiam di dalam kubur, sehingga mereka ditakuti. Bagi arwah orang-orang terkemuka
seperti kepala suku, kyai, pendeta, dukun, dan sebagainya itu dianggap suci.
Oleh karena itu, mereka dihormati; demikian pula nenek moyang kita. Dengan
demikian timbullah kepercayaan yang memuja arwah dari nenek moyang yang disebut
Animisme.
Karena arwah itu tinggal di dunia arwah (kahyangan)
yang letaknya di atas gunung, maka tempat pemujaan arwah pada zaman
Megalitikum, juga dibangun di atas gunung/bukit. Demikian pula pada zaman
pengaruh Hindu/Buddha, candi sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang atau
dewa dibangun diatas gunung/bukit. Sebab menurut kepercayaan Hindu bahwa tempat
yang tinggi adalah tempat bersemayamnya para dewa, sehingga gambaran gunung di
Indonesia (Jawa khususnya) merupakan gambaran gunung Mahameru di India.
Pengaruh ini masih berlanjut juga pada masa kerajaan Islam, di mana para raja
jika meninggal di makamkan di tempat-tempat yang tinggi, seperti raja-raja
Yogyakarta di Imogiri dan raja-raja Surakarta di Mengadek. Hubungannya dengan
arwah tersebut tidak diputuskan melainkan justru dipelihara sebaik-baiknya
dengan mengadakan upacara-upacara selamatan tertentu. Oleh karena itu, agar
hubungannya dengan arwah nenek moyang terpelihara dengan baik, maka dibuatlah
patung-patung nenek moyang untuk pemujaan.
b. Dinamisme
Istilah dinamisme berasal dari kata dinamo
artinya kekuatan. Dinamisme adalah paham/kepercayaan bahwa pada benda-benda
tertentu baik benda hidup atau mati bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti
tombak dan keris) mempunyai kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci. Benda
suci itu mempunyai sifat yang luar biasa (karena kebaikan atau keburukannya)
sehingga dapat memancarkan pengaruh baik atau buruk kepada manusia dan dunia
sekitarnya. Dengan demikian, di dalam masyarakat terdapat orang, binatang,
tumbuh-tumbuhan, benda-benda, dan sebagainya yang dianggap mempunyai pengaruh
baik dan buruk dan ada pula yang tidak.
Benda-benda yang berisi mana
disebut fetisyen yang berarti benda sihir. Benda-benda yang
dinggap suci ini, misalnya pusaka, lambang kerajaan, tombak, keris, gamelan,
dan sebagainya akan membawa pengaruh baik bagi masyarakat; misalnya suburnya
tanah, hilangnya wabah penyakit, me- nolak malapetaka, dan sebagainya. Antara fetisyen
dan jimat tidak terdapat perbedaan yang tegas. Keduanya dapat berpengaruh baik
dan buruk ter- gantung kepada siapa pengaruh itu hendak ditujukan.
Perbedaannya, jika jimat pada umumnya dipergunakan/dipakai di badan dan
bentuknya lebih kecil dari pada fetisyen.
Contohnya, fetisyen panji Kiai Tunggul
Wulung dan Tobak Kiai Plered dari Keraton Yogyakarta.
c. Totemisme
Adanya anggapan bahwa
binatang-binatang juga mempunyai roh, itu disebabkan di antara
binatang-binatang itu ada yang lebih kuat dari manusia, misalnya gajah ,
harimau, buaya, dan ada pula yang larinya lebih cepat dari manusia. Pendeknya,
banyak yang mempunyai kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan manusia sehingga
ada perasaan takut atau juga menghargai binatang-binatang tersebut. Sebaliknya,
banyak pula binatang yang bermanfaat bagi manusia, seperti kerbau, sapi,
kambing, dan sebagainya. Dengan demikian, hubungan antara manusia dengan hewan
dapat berupa hubungan permusuhan berdasarkan takut-menakuti dan ada pula
hubungan baik, hubungan persahabatan bahkan hubungan keturunan (totemisme).
Itulah sebabnya pada bangsa-bangsa di dunia terdapat kebiasaan menghormati
binatang-binatang tertentu untuk dipuja dan dianggapnya seketurunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar