
Jika pada masa Hindu–Buddha para brahmana berperan sebagai penasihat raja maka pada masa Islam yang menjadi penasihat raja ialah pada wali/sunan atau kiai. Raja pada masa Islam juga memiliki kekuasaan yang besar seperti pada masa kerajaan-kerajaan Hindu–Buddha. Bahkan, untuk raja-raja Jawa umumnya dan Mataram Islam khususnya, muncul konsep keagung-binatharaan. Dalam dunia pewayangan kekuasaan yang besar itu bisa digambarkan sebagai gung binathara bau dhendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum
dan penguasa dunia).
Raja tidak hanya berkuasa di bidang politik, tetapi juga di bidang agama sehingga muncul gelar Sayidin Panatagama. Raja yang dikatakan baik adalah raja yng menjalankan kekuasaannya dalam keseimbangan antara kewenangannya yang besar dan kewajibannya yang besar juga. Konsep itulah yang disebut keagungbinatharaan, yakni berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta, (meluap budi luhur mulia dan sikap adilnya terhadap sesama). Selain itu, tugas raja adalah anjaga tata titi tentreming praja (menjaga keteraturan dan ketenteraman hidup rakyat) supaya tercapai suasana karta tuwin raharja (aman dan sejahtera). Jika diibaratkan sama dengan konsep Hindu–Buddha berupa astabrata. Selanjutnya, untuk pembinaan kekuasaan dilakukan dengan menyusun silsilah (silsilah politik) sebagai garis keturunan yang berhak menggantikan takhta kerajaan.
BSE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar