Menurut Porter (1990), daya saing
diidentikkan dengan produktivitas dimana tingkat output yang dihasilkan untuk
setiap unit input yang digunakan. Peningkatan produktivitas meliputi
peningkatan jumlah input fisik (modal dan tenaga kerja), peningkatan kualitas
input yang digunakan dan peningkatan teknologi (total faktor produktivitas).
Daya saing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri
dan kemampuan untuk dapat bertahan di dalam pasar tersebut, dalam artian jika
suatu produk mempunyai daya saing maka produk tersebutlah yang banyak diminati
konsumen. Keunggulan daya saing dari suatu komoditi dikelompokkan menjadi dua
macam, yaitu keunggulan alamiah/keunggulan absolut (natural advantage) dan
keunggulan yang dikembangkan (acquired advantage).
Keunggulan alamiah atau
keunggulan absolut adalah keunggulan yang dimiliki oleh suatu negara untuk
salah satu komoditinya tidak secara langsung menyebabkan komoditi tersebut akan
menguasai pangsa pasar dunia. Hal ini dikarenakan jumlah produsen tidak hanya
satu negara, akan tetapi ada beberapa negara yang sama-sama menghasilkan
komoditi tersebut dengan kondisi keunggulan alamiah yang sama. Pendekatan yang
sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi adalah faktor
keunggulan komparatif (comparative advantage) dan faktor keunggulan kompetitif
(compepetitive advantage). Keunggulan komparatif adalah suatu kemampuan untuk
mendapatkan suatu barang yang dapat dihasilkan dengan tingkat biaya yang
relatif lebih rendah dibandingkan dengan barang-barang lain. Teori keunggulan
komparatif dikemukakan oleh J.S. Mill dan David Ricardo dan muncul sebagai
usaha perbaikan terhadap teori keunggulan absolut.
Menurut hukum keunggulan komparatif
meskipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut untuk
memproduksi dua komoditi jika dibandingkan dengan negara lain, namun
perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung selama rasio
harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan tidak ada perdagangan
(Lindert dan Kindleberger, 1993). Dasar pemikiran David Ricardo adalah
perdagangan antar dua negara akan terjadi bila masing-masing negara memiliki
biaya relatif yang terkecil untuk jenis barang yang berbeda. Ricardo menekankan
bahwa keunggulan suatu negara atas negara lain disebabkan oleh perbedaan
efisiensi relatif antara negara dalam memproduksi dua (atau lebih) jenis barang
yang menjadi dasar terjadinya perdagangan internasional (Tambunan, 2001).
Ricardo menyatakan bahwa nilai
suatu komoditas ditentukan ditentukan oleh faktor tenaga kerja yang disebut
teori nilai berdasar tenaga kerja (Labor theory of value). Kemudian, teori
keunggulan komparatif Ricardo disempurnakan oleh teori biaya imbangan
(opportunity cost theory) yaitu harga relatif komoditas berbeda yang ditentukan
oleh perbedaan biaya dimana biaya tersebut menunjukan produksi komoditas
alternatif yang harus dikorbankan untuk menghasilkan komoditas yang
bersangkutan. Teori keunggulan komparatif David Ricardo dijelaskan lebih lanjut
oleh teori cost comparative (labor efficiency) dan teori production comparative
(labor productivity). Menurut teori cost comparative (labor efficiency), suatu
negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan
spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat
berproduksi relatif lebih efisien serta mengimpor barang dimana negara tersebut
berproduksi relatif kurang/tidak efisien. Sedangkan menurut Production
comparative advantage (labor productivity), suatu negara akan memperoleh
manfaat dari perdagangan internasioanal jika melakukan spesialisasi produksi
dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih
produktif serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif
kurang/tidak produktif (Hamdy, 2001).
Sementara itu, J.S. Mill
berpendapat bahwa suatu negara akan mengkhususkan diri pada ekspor barang
tertentu bila negara tersebut memiliki keunggulan komparatif (comparative
advantage) terbesar, dan akan mengkhususkan diri pada impor barang bila negara
tersebut memiliki kerugian komparatif (comparative disadvantage) (Tambunan,
2001). Teori Heckser-Ohlin menyatakan bahwa suatu negara memiliki keunggulan
komparatif dalam menghasilkan komoditi jika memanfaatkan kepemilikan
faktor-faktor produksi yang melimpah di negaranya. Teori ini disebut juga
sebagai teori keunggulan komparatif berdasarkan kelimpahan faktor (factor
endowment theory of comparative advantage). Teori ini mengasumsikan bahwa
setiap negara memiliki kesamaan fungsi produksi, sehingga faktor produksi yang
sama menghasilkan output yang sama namun dibedakan oleh harga-harga relatif
faktor produksi tiap negara. Kelebihan teori komparatif ini adalah mampu
menjelaskan bagaimana perdagangan dapat terjadi walaupun suatu negara tidak
memiliki keunggulan absolut. Kelemahan teori ini adalah teori disusun
berdasarkan beberapa asumsi yang berbeda dengan dunia nyata. Hukum komparatif
tersebut berlaku dengan beberapa asumsi, yaitu (1) hanya terdapat dua negara
dan dua komoditi, (2) perdagangan bersifat bebas, (3) terdapat mobilitas tenaga
kerja yang sempurna di dalam namun tidak ada mobilitas antara dua negara, (4)
biaya produksi konstan, (5) tidak ada biaya transportasi, (6) tidak ada
perubahan teknologi, dan (7) menggunakan teori nilai tenaga kerja. Asumsi satu
sampai enam dapat diterima, tapi asumsi tujuh tidak dapat berlaku dan
seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan komparatif. Sementara
itu, keunggulan komparatif menurut Sudaryanto dan Simatupang (1993) merupakan
ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam arti daya saing yang akan
dicapai pada perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Keunggulan
komparatif tidak stabil dan cenderung berubah seiring berjalannya waktu dan
perubahan produksi.
Menurut Wilcox, Cochrane dan
Hardt dalam Dahl dan Hammond (1977), ada
beberapa alasan dalam perubahan keunggulan komparatif, yaitu (1) perubahan
sumber daya alam seperti erosi tanah (2) perubahan dalam faktor-faktor biologis
seperti peningkatan hama dan penyakit (3) perubahan harga input (4) peningkatan
mekanisasi tanah dan (5) peningkatan transportasi yang lebih efisien dan lebih
murah yang memberikan lebih banyak kemudahan bagi area jauh dari pasar. Keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang
dimiliki oleh suatu negara atau bangsa untuk dapat bersaing di pasar
internasional (Hamdy, 2001). Konsep keunggulan kompetitif adalah sebuah konsep
yang menyatakan bahwa kondisi alami tidaklah perlu untuk dijadikan penghambat
karena keunggulan pada dasarnya dapat diperjuangkan dan ditandingkan
(dikompetisikan) dengan berbagai perjuangan/usaha. Keunggulan suatu negara
bergantung pada kemampuan perusahaan-perusahaan di dalam negara tersebut untuk
berkompetisi dalam menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar (Porter,
1990).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar