Dalam
kehidupan sehari-hari, seringkali dijumpai orang yang sebenarnya memiliki
kemampuan intelektual luar biasa namun gagal karena rendahnya kecerdasan emosi
yang dimiliki. Sebaliknya, sering juga dijumpai orang yang memiliki kemampuan
intelektual biasa saja namun ternyata sukses dalam pekerjaan ataupun dalam
hubungan masyarakat. Dua keadaan tersebut tampaknya perlu dijadikan bahan
renungan tentang cara kita “membaca” kecerdasan. Hal ini menjadi penting karena
selama ini sistem pendidikan yang ada terlalu menekankan pentingnya nilai
akademik, kecerdasan otak (IQ) saja. Indikatornya adalah dalam mekanisme
pelaksanaan ujian, baik nasional maupun institusional, tolok ukurnya adalah
penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang bersifat remembering
dan recalling.
Jelas
ini sangat ironis karena pada dasarnya salah satu kelemahan pendidikan terletak
pada aspek afektif. Banyaknya kasus negatif dalam bidang afektif yang mewarnai
dunia pendidikan seperti pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru terhadap
murid, murid laki-laki terhadap murid perempuan, tawuran pelajar, penyontekan,
menurunnya rasa hormat murid terhadap guru, narkoba, dan lain sebagainya merupakan
deretan panjang pelanggaran dalam bidang afekif.
Kondisi yang demikian ini mengindikasikan bahwa
pendidikan telah terjangkit penyakit klinis yang kronis. Oleh karena itu perlu
ada upaya praktis dari seluruh stakeholders dengan merubah paradigma
pendidikan yang intelektual sentris (kognitif) menuju paradigma pendidikan yang
mampu menyeimbangkan dan menyelaraskan dimensi intelektual (kognitif), dimensi
emosional (afektif) dan juga dimensi spiritual. Keseimbangan ketiga dimensi
tersebut diperlukan mengingat dalam mengarungi kehidupan, seseorang tidak hanya
cukup dengan bekal cerdas secara intelektual, namun lemah dalam pengendalian
emosi serta hampa dalam urusan spiritual. Hal ini dikarenakan dalam berhubungan
dengan manusia, tidak hanya dibutuhkan orang yang cerdas secara IQ, tetapi juga
dibutuhkan orang yang cerdas secara emosi. Selain itu, kesuksesan seseorang
dalam kehidupan juga tidak hanya ditentukan oleh seberapa tinggi IQ yang
dimiliki, tetapi EQ juga sangat berperan dalam segala sendi kehidupan. IQ hanya
menyumbang kira-kira 20% bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup,
sedangkan 80% sisanya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain, termasuk kecerdasan
emosi.
Kecerdasan
intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) ini cenderung berkaitan dengan
status manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial (dimensi horisontal)
serta kurang menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia
sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal). Oleh karena itu, sebagai makhluk yang
memiliki sifat kemanusiaan (nasut) dan juga sifat ketuhanan (lahut), manusia
juga memerlukan jenis kecerdasan lain yang berdimensi vertikal, yang kemudian
dikenal dengan sebutan kecerdasan spiritual (SQ).
Kecerdasan
intelektual (IQ) memang penting kehadirannya dalam kehidupan manusia, yaitu
agar manusia mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara efisien
dan efektif. Peran kecerdasan emosional (EQ) juga penting dalam membangun
hubungan antar manusia yang efektif sekaligus perannya dalam meningkatkan kinerja,
namun tanpa kecerdasan spiritual (SQ) yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran,
maka keberhasilan yang dicapai hanyalah keberhasilan yang bernuansa duniawi
atau kebendaan saja tetapi hampa dan tanpa makna.
SQ
ini adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara
efektif. SQ diperlukan untuk memberikan makna spiritual terhadap pemikiran,
perilaku dan kegiatan secara komprehensif. Hal ini selaras dengan pandangan
bahwa jika rasio dan emosi memberikan kepada manusia keunggulan-keunggulan yang
bersifat teknis dan diperlukan untuk mengarungi kehidupan dunia, maka
spiritualitas memberikan makna bagi tindakan-tindakan manusia.
Uraian di atas membawa kepada sebuah pemahaman
bahwa untuk mencapai kesuksesan baik dalam urusan horisontal (manusia) dan
vertikal (Tuhan) diperlukan integrasi antara IQ, EQ, dan SQ, yang disebut
sebagai meta kecerdasan. Lebih lanjut, integrasi dari ketiga macam kecerdasan
tersebut harus berorientasi pada spiritualisme tauhid.
Pengintegrasian
IQ, EQ, dan SQ menjadi meta kecerdasan bukan sesuatu hal yang mustahil karena
pada dasarnya di dalam otak manusia telah tersedia komponen anatomis untuk
aspek rasional (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Hal ini berarti bahwa
secara kodrati manusia telah disiapkan sedemikian rupa untuk merespons segala
macam hal dengan potensi-potensi yang sudah ada dalam diri manusia.
Bagi
seorang pendidik, penemuan para ahli neurosains tentang tersedianya
potensi-potensi tersebut dalam otak manusia tentu menjadi kabar gembira
sekaligus tantangan untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan segala
potensi yang sudah dianugerahkan oleh Allah SWT. secara optimal. Dengan
demikian, maka salah satu tugas besar sebagai pendidik adalah berusaha
membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi yang
dimilikinya.
Upaya untuk mengintegrasikan
ketiga potensi kecerdasan tersebut melalui proses pembelajaran tidaklah mudah.
Hal ini dikarenakan setiap peserta didik memiliki kekhasan masing-masing. Latar
belakang ekonomi, lingkungan sosial, bakat, minat, pengetahuan serta motivasi
antara satu murid dengan murid yang lain tidaklah selalu sama, bahkan cenderung
berbeda. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pendekatan yang mampu memahami
karakteristik peserta didik sehingga lingkungan sekolah benar-benar dapat
memberi kesempatan bagi pengembangan potensi peserta didik agar mencapai titik
maksimal. Selain itu, diperlukan juga kreatifitas dan inovasi dari pendidik
agar proses pembelajaran tidak menjemukan yang tentu saja akan berpengaruh pada
prestasi peserta didik tetapi menyenangkan (enjoyful learning) (EQ),
bermakna (meaningful learning) (SQ), dan menantang atau problematis (problematical
learning) (IQ). Dengan pembelajaran seperti ini diharapkan tercipta
manusia-manusia pembelajar yang selalu tertantang untuk belajar (learning to
do, learning to know) (IQ), learning to be (SQ), dan learning to
live together (EQ), serta selalu memperbaiki kualitas diri-pribadi secara
terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri yang sesungguhnya
(real achievement).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar