Peristiwa di Surabaya itu
merupakan rangkaian peristiwa yang dimulai sejak kedatangan pasukan Sekutu
dengan bendera AFNEI di Jawa Timur. Khusus untuk Surabaya, Sekutu menempatkan
Brigade 49, yaitu bagian dari divisi ke-23 Sekutu. Brigade 49 dipimpin Brigjen
A.W.S. Mallaby yang mendarat 25 Oktober 1945.
Pada mulanya pemerintah Jawa
Timur enggan menerima kedatangan Sekutu. Kemudian dibuat kesepakatan antara
Gubernur Jawa Timur R.M.T.A. Suryo dengan Brigjen A.W.S. Mallaby. Kesepakatan
itu adalah sebagai berikut.
a. Inggris berjanji tidak
mengikutsertakan angkatan perang Belanda
b. menjalin kerja sama kedua
pihak untuk menciptakan kemanan dan ketentraman
c. akan dibentuk kontrak biro
d. Inggris akan melucuti senjata
Jepang Dengan kesepakatan itu, Inggris diperkenankan memasuki kota Surabaya.
Ternyata pihak Inggris ingkar
janji. Itu terlihat dari penyerbuan penjara Kalisosok 26 Oktober 1945. Inggris
menduduki pangkalan udara Tanjung Perak tanggal 27 Oktober 1945, serta
menyebarkan pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur
menyerahkan senjata- senjata mereka.
Kontak senjata antar Sekutu dan
rakyat Surabaya sudah terjadi sejak 27 Oktober 1945. Karena terjadi kontak
senjata yang dikhawatirkan meluas, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.
Hatta mengadakan perundingan. Kedua belah pihak merumuskan hasil perundingan
sebagai berikut.
1. Surat-surat selebaran/pamflet
dianggap tidak berlaku
2. Serikat mengakui keberadaan
TKR dan Polisi Indonesia
3. Seluruh kota Surabaya tidak
lagi dijaga oleh Serikat, sedangkan kamp- kamp tawanan dijaga bersama-sama
Serikat dan TKR
4. Tanjung Perak dijaga bersama
TKR, Serikat, dan Polisi Indonesia
Walaupun sudah terjadi
perundingan, akan tetapi di berbagai tempat di kota Surabaya tetap terjadi
bentrok senjata antara Serikat dan rakyat Surabaya yang bersenjata. Pertempuran
seru terjadi di Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah. Gedung itu dikepung
oleh para pemuda yang menuntut agar pasukan A.W.S. Mallaby menyerah. Tuntutan
para pemuda itu ditolak pasukan Serikat.
Karena begitu gencarnya
pertempuran di sana, akibatnya terjadi kejadian fatal, yaitu meninggalnya
A.W.S. Mallany tertusuk bayonet dan bambu runcing. Peristiwa ini terjadi
tanggal 30 Oktober 1945. Dengan meninggalnya A.W.S. Mallaby, pihak Inggris
memperingatkan rakyat Surabaya dan meminta pertanggungjawaban. Mereka mengancam
agar rakyat Surabaya menyerah dan akan dihancurkan apabila tidak mengindahkan
seruan itu. Ultimatum Inggris bermakna ancaman balas dendam atas pembunuhan
A.W.S. Mallaby disertai perintah melapor ke tempat-tempat yang ditentukan.
Disamping itu, pemuda bersenjata
harus menyerahkan senjatanya. Ultimatum Inggris itu secara resmi ditolak rakyat
Surabaya melalui pernyataan Gubernur Soerjo. Karena penolakan itu, pertempuran
tidak terhindarkan lagi, maka pecahlah pertempuran pada tanggal 10 November
1945. Sekutu mengerahkan pasukan infantri dengan senjata-senjata berat.
Peristiwa heroik ini berlangsung hampir tiga minggu. Dalam pertempuran
tersebut, melalui siaran radio, Bung Tomo membakar semangat arek-arek Suroboyo.
Pertempuran yang memakan korban
banyak dari pihak bangsa Indonesia ini diperingati sebagai Hari Pahlawan setiap
tanggal 10 November. Peringatan itu merupakan komitmen bangsa Indonesia yang
berupa penghargaan terhadap kepahlawanan rakyat Surabaya sekaligus mencerminkan
tekad perjuangan seluruh bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar