Semenjak Belanda menginjakkan kakinya ke bumi Indo- nesia pada tahun 1596, kemudian mereka mendirikan kongsi dagang yang diberi nama VOC, berarti Indonesia sudah mulai dijajah oleh Belanda.
Kepemimpinan VOC dipegang oleh dewan beranggotakan 17 orang yang berkedudukan di Amsterdam. Oleh pemerintah Belanda, VOC diberi oktroi (hak-hak istimewa) sebagai berikut.
a. Dianggap sebagai wakil pemerintah Belanda di Asia.
b. Monopoli perdagangan.
c. Mencetak dan mengedarkan uang sendiri.
d. Mengadakan perjanjian dan melakukan perang dengan negara lain.
e. Menjalankan kekuasaan kehakiman dan melakukan pemungutan pajak.
f. Memiliki angkatan perang sendiri.
g. Mengadakan pemerintahan sendiri.
Untuk melaksanakan kekuasaannya di Indonesia, diangkatlah Gubernur Jendera VOC antara lain sebagai berikut.
a. Pieter Both, yaitu Gubernur Jenderal VOC pertama yang memerintah tahun 1610-1619 di Ambon.
b. Jan Pieterzoon Coen, yaitu Gubernur Jenderal VOC kedua yang memindahkan pusat VOC dari Ambon ke Jayakarta (Batavia).
Timbulnya masalah keuangan yang dialami Belanda, mendorong Belanda mengirim Johannes Van den Bosch ke Indonesia dengan tugas meningkatkan penerimaan negara. Van den Bosch mengeluarkan peraturan tanam paksa (cultuur stelsel) di Indonesia untuk menambah penerimaan negaranya.
Tanam paksa adalah peraturan yang mewajibkan setiap desa utnuk menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial juga. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada tahun 1835 hingga 1940.
Kerasnya sistem tanam paksa, akhirnya memunculkan politik etis atau politik balas budi. Politik etis adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.
Munculnya kaum etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan Conrad Theodor Van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Ratu Wihelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika.
Program Trias Politika meliputi a. irigasi, yaitu membangun dan memperbaiki pengairan dan bendunan untuk pertanian, b. emigrasi, yaitu mengajak penduduk untuk transmigrasi, c. edukasi, yaitu memperluas bidang pengajaran dan pendidikan.
Dari ketiga program tersebut, hanya edukasi yang berarti bagi Indonesia. Dunia pendidikan dan pengajaran menjadi berkembang dengan berdirinya sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Perkembangan masyarakat selama penjajahan yang beratus-ratus tahun itu berlangsung secara statis, tidak ada perkembangan atau kemajuan. Masyarakat memang sengaja dibodohkan atau tidak diberi kesempatan untuk tidak bodoh, tidak miskin, dan tidak terbelakang. Dalam kehidupan yang serba tertekan, kehidupan masyarakat yang sangat ketinggalan dan jauh dari kehidupan layaknya manusia, menyebabkan tidak adanya perkembangan kebudayaan. Apa saja yang muncul senantiasa dibinasakan oleh penjajah Belanda.
Terlebih masalah pemerintahan, begitu liciknya Belanda dalam mengabadikan pencengkeraman penjajahannya di Indonesia. Segala cara dilakukan, terutama dalam memecah belah persatuan dan kesatuan. Bangsa ini tercabik-cabik dan tidak mempunyai kesempatan untuk melepaskan diri dari cengkeramannya. Namun setelah saatnya tiba dengan segala pengorbanan dan perjuangan, kesempatanpun datang, dan kita dapat menjadi bangsa yang merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar